BULLY,
BUDAYA ATAU TRADISI?
BULLY,
BUDAYA ATAU TRADISI? Ngomongin soal bully, sebenarnya ada
luka lama yang enggan saya ceritakan. Tapi teringat pidato dari bapak kepsek
saat upacara hari Senin, sejenak saya mengingat cerita itu. Bully seolah
menjadi tradisi di sekolah-sekolah, bahkan sekarang media sosialpun seolah
berperan serta soal bully. Bully tidak hanya menyerang anak-anak sekolah, tapi
bully juga menyerang kaum emak-emak soal mendidik anak. Etapi yang lebih
membuat saya ‘mak grek’, adalah ucapan bapak kepsek soal bully sesama guru.
Adakah? Kenapa bisa?
Sekelumit ceritaku
tentang bully di masa lalu
Saya sendiri punya
cerita tentang bully. Sewaktu SD pernah di bully karena saya bukan anak orang
kaya. Saya inget benar, saya di bully oleh teman saya yang terlahir dari
keluarga PNS dan suka semena-mena sama temannya. Dan yang tidak pernah bisa
saya lupakan, guru kelas yang seharusnya penengah justeru malah memihaknya.
Jujur, saya sempat kecewa dengan profesi guru lantaran guru SD saya dulu yang
suka membeda-bedakan muridnya lantaran profesi keluarganya. Kalau mengingat hal
itu, terkadang saya sampai menitikkan air mata.
Sementara cerita saya
soal bully semasa SMP itu terlihat banget antara di kaya dan si miskin. Yups,
anak-anak orang kaya selalu seenaknya menyuruh teman-temannya yang bukan dari
keluarga berada. Mereka juga membeda-bedakan soal bergaul.
Bully sewaktu SMP yang
sampai sekarang saya ingat adalah sewaktu saya duduk di kelas 3 SMP. Saya dekat
dalam artian sahabat dengan seorang cowok yang digandrungi bahkan menjadi
rebutan oleh teman perempuan saya. Kala itu, saya adalah penyuka puisi, saya
punya puisi dan teman-teman yang jahil dengan sengaja menempel puisi saya di
mading. Mereka membuat gosip saya suka sama sahabat cowok saya itu. Syapun di
bully oleh cewek-cewek yang menggandrunginya hingga saya enggak punya teman.
Saya selalu ingat kejadian itu dan rasanya kok masih nyesek sampai sekarang.
Sementara masa SMA dan
kuliah, Alhamdulillah hidup saya tanpa bully. Saya bahkan menemukan sahabat dan
teman-teman yang tanpa membeda-bedakan dalam pergaulan.
Cerita bully ketika aku
menjadi ibu
Ada lagi cerita bully
yang sempat saya rasakan, yaitu tatkala saya menjadi seorang ibu. Bully yang
saya dapatkan tak hanya dari orang-orang dari dunia nyata saja, melainkan dari
dunia maya alias sosial media.
Perkembangan sosial
media yang semakin mempercepat dalam memperoleh informasi, ternyata ada sisi
negatifnya. Banyak sekali orang yang begitu mudahnya menilai orang lain, lalu
nyinyir dan membully tanpa tahu kebenarannya.
Saya merasakan betul,
bagaimana nsakitnya dibully lantaran saya melahirkan anak saya secara sc. Yups,
dokter sudah memvonis bahwa panggul saya sempit. Etapi beberapa teman di dunia
maya selalu bilang, tahu dari mana panggulnya sempit? Hallah alasan saja dan
bla...bla... sampai pada titik yang begitu menyakitkan, ibu yang lahiran normal
lebih sayang pada anaknya dari ibu yang lahiran sc. Oh My God... rasanya saya
ingin marah sekaligus menangis.
Tak tahukan mereka,
melahirkan secara sc itu juga beresiko seperti ibu yang melahirkan secara
normal. Melahirkan secara sc awalnya memang tidak sakit, tapi untuk
penyembuhannya butuh waktu lama dan sakitnya bisa terasa sampai 6 tahun.
Belum lagi soal bully
lantaran saya memberikan anak saya ASI campur sufor. Ada yang bilang saya
enggak niat menyusui, dan yang lebih menusuk hati itu tatkala ada yang bilang
kalau ngasih anaknya sufor berarti memasukkan penyakit ke dalam tubuh anaknya.
Duh, perkataan itu
sampai membuat saya geram. Padahal kan saya sampai ngasih sufor ke Juna itu ada
alasan dan sudah konsultasi ke dokter yang menangani saya sedari hamil.
Baca : Perjuangan DemiBisa NgASI
Belum lagi nyinyiran
atau bully-an lainnya soal MPASI Instan atau MPASI Homemade. Ibu bekerja atau
full time di rumah. Dan bla.. bla... Jujur saja saya prihatin, kenapa sekarang
ini sesama ibu begitu mudahnya saling membully dan nyinyir? Kenapa tidak bersatu
saling mendengarkan keluh kesah dan saling memberi saran tanpa harus menggurui?
Toh ibu yang baik itu bukanlah ibu yang suka nyinyir dan membully sesama ibu,
tapi bagi saya ibu yang baik adalah seorang ibu yang berfikir dan menentukan
sikap terbaik demi masa depannya dan anak-anaknya.
Baca : Ibu Idaman AlaMamah Muda
Pembelajaran tentang
bully
Bully ada karena
seseorang merasa kuat atau hebat. Seandainya saja kita semua menyadari bahwa
kita semua hebat dengan kekurangan dan kelebihannya, mungkin tak akan pernah
ada kata bully.
Untukmu para
murid-muridku dan juga siswa-siswi lainnya, STOP membully sesama teman. Bully
bukan budaya ataupun tradisi, bully hanya penyimpangan yang menjadikan kita
manusia sombong.
Yuk, belajar menghargai
teman kita tanpa membedakan status sosialnya.
Dan untukmu para
ibu-ibu, STOP membully sesama ibu. Kita adalah perempuan-perempuan yang
dipercaya Tuhan untuk merawat titipanNya, tak seharusnya kita merasa hebat,
terbaik dan merendahkan sesama ibu. Kita semua adalah perempuan hebat. Lebih
baik kita bersatu menjadi ibu yang terbaik untuk buah hati kita.
Bully Sesama Guru
Sedikit ungkapan soal
bully sesama guru seperti yang disinggung sama pak kepsek. Menurut saya, di
tempat saya bekerja itu tidak ada guru yang dibully. Kalaupun ada guru yang
kebetulan menjadi tranding topic pembicaraan rekan-rekan, itu terjadi karena
sikap si guru sendiri. Sudahkah Beliau bertoleransi sesama rekan-rekan?
Sudahkah bekerja sesuai profesionalisme dan loyalitas pada sekolah.
So, kalau pak kepsek kemarin
sempat menyinggung soal bully sesama guru, sebenarnya sama sekali enggak ada
bully. Karena bagi saya, bully sama ngegosipin itu berbeda. Bully ada karena
seseorang atau sekelompok merasa hebat lantas memperlakukan orang lain atau
kelompok lainnya di luar kemanusiaan entah dalam bentuk kata maupun perbuatan.
Yah, itu hanya
sekelumit cerita saya soal bully dan harapan saya, semoga ke depannya tidak ada
lagi yang namanya bully membully.
Hehehe.... seru banget cerita bully nya.
ReplyDeleteBully ala emak2 kadang suka bikin baper.
Tapi kalo saya pribadi sih prinsipnya.... gak usah ngukur baju pake ukuran orang lain.
Setiap mom itu punya alasan dan kepentingan masing2, yang gak bisa diukur pake kacamata sendiri.
Semangaaat maaak...
Hehehe.... seru banget cerita bully nya.
ReplyDeleteBully ala emak2 kadang suka bikin baper.
Tapi kalo saya pribadi sih prinsipnya.... gak usah ngukur baju pake ukuran orang lain.
Setiap mom itu punya alasan dan kepentingan masing2, yang gak bisa diukur pake kacamata sendiri.
Semangaaat maaak...
tradisi yang jadi budaya. menurut saya sih mbak.
ReplyDeletememang melek bully harus selalu didengungkan agar tidak terjadi bullying yang mentradisi karena dibudayakan.
kesimpulannya bully bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja...
ReplyDeleteyang susah itu bagamana cara menyikapinya :)
salam
Bully sesama emak2 sekarang lagi ngetren. Eh, aksi #nobullying juga ngetren kok ��
ReplyDeletetergantung orang nya mbaa... ada dari kecil SD suka ngebully dan musuhan...
ReplyDeletesemangat mba.... cuekin aja orng yang ngatain..
toh..kita lebih tahu dari mereka...
Heran ya dengan mereka yang suka ngebully. Yang lebih heran lagi kalau yang ngebully adalah para emak yang merasa paling benar sendiri.
ReplyDeleteItu kok ya lahir sc saja sampai dikomentarin gitu sih? Sok merasa paling tahu sendiri. Ah, semoga kita bisa lebih bijaksana saja ya mbak. :)
Bully oh bully, moga2 kita gak ikutan suka membully ya mbak...
ReplyDeleteWaktu saya SD dulu alhamdulillah gak ada yang namanya bully si miskin dan si kaya, sampai dewasa pun begitu. Namun bully yang terasa paling dalam adalah bully karena tubuh saya kecil, gak cuma saat SD tapi bully tersebut lanjut sampai sekarang saat saya dewasa. Akhir akhir ini saya malah mikir, "Jangan ngomong anti-bullying kalau masih ketawa liat orang kepleset, jatuh atau tak sengaja terbentur". Buat saya salah satu mental bully melekat sejak kecil ya mulai dari bibit itu, ditambah merasa lucu ketika melihat tontonan Tom & Jerry. Yang saya tuangkan dalam tulisan blog berjudul Mental Tom & Jerry.
ReplyDeleteThanks for sharing,.
ReplyDelete