Saat
kutulis surat ini, aku tak tahu harus sedih atau bahagia. Namun aku cukup lega,
akhirnya kau berani jujur dan berani mencurahkan kenyataan kepadaku.
Aku menagih
janjimu. Katanya, kau ingin memperkenalkan aku dengan kekasihmu. Berulang kau
beralasan. Tapi kau tahu, aku bukan sosok yang mudah percaya, aku keras kepala,
hingga kahirnya kau menyerah.
"Maminya
tidak pernah menyukaiku," ucapmu kala itu.
Aku hanya
bisa diam. Hingga akhirnya kau ungkap segalanya. "Kami berbeda suku,
berbeda agama, berbeda status sosial. Aku Jawa, dia China. Aku muslim, dia
nasrani. Aku adak orang tak punya, sementara dia anak orang berada.
Pendidikannyapun tinggi, dia sudah strata dua," jujurmu padaku.
Argh, aku
hanya bisa menarik nafas panjang.
"Apa
cinta tercipta hanya untuk mereka yang sama derajadnya?" Kau bertanya
padaku.
Langsung
saja aku jawab TIDAK. Asal kau tahu, aku pernah merasakan apa yang kaurasakan.
Aku tahu sakitnya cinta yang tak direstui. Dan kisahmu tak sememilukan kisahku.
Kau hanya
tak direstui, sementara aku? Bukan sekedar cinta tak direstui, tapi cintaku
juga dikutuk oleh ibuku. Aku pernah dijodohkan dengan lelaki mata duitan yang
bilangnya mencintaiku tapi nyatanya dia lebih sayang harta orang tuaku. Dan kau
tahu, hidupku tak lebih dari burung dalam sangkar emas dan selalu menjadi piala
buat mereka yang mampu merebut hati kedua orang tuaku.
Kau tahu, 2
tahun aku hidup tanpa kawan. Rumah yang aku tempati tak lebih dari neraka. Aku
kehilangan sahabat, aku kehilangan impian dan aku kehilangan waktu.
Dan
sialnya, lelaki mata duitan itu tetap menungguku. Tapi tak semudah itu dia
mendapatkanku, lebih baik aku mati daripada harus menikah dengan biadab seperti
dia. Gayanya sok ustad, nyatanya dia memuakkan.
Hingga
akhirnya Tuhan membukakan segalanya. Orang tuaku tahu, dia menghamili anak
gadis orang. Parahnya lagi, dia enggan bertanggung jawab karena si gadis itu
anak orang tak punya. Tanpa rasa malu, dia justeru mencari gadis lain yang
anaknya orang kaya.
Semenjak
itu, aku seolah menemukan kembali kehidupan yang hilang. Tapi semua telah
berbeda. Aku juga kehilangan cintaku. Karena cinta itu nyatanya lebih memilih
mengakhiri hidupnya daripada menanti waktu berpihak padanya.
Kini kau
tahu, kenapa alasanku kenapa sampai saat ini aku masih memilih sendiri. Bukan
pula karena rasa setiaku pada cintaku, tapi lebih tepatnya aku takut pada cinta
yang tak direstui.
Dan kau,
kenapa kau begitu galau dengan cintamu yang tak direstui? Kurasa, tiada
salahnya pernikahan berbeda suku? Soal agama, kau bisa mengajaknya berjalan
dalam keyakinanku? Bukankah seorang mualaf itu akan mendapatkan pahala yang
besar. Sementara soal harta, rejeki itu di tangan Tuhan. Boleh jadi sekarang
kau orang tak punya, tapi tiada tahu dengan takdir nantinya.
"Terkadang,
aku ingin meninggalkannya. Tapi melihatnya? Sejak kecil dia sudah tidak punya
bapak, kalau aku meninggalkannya, siapa yang akan menjaganya?" Ungkapmu
waktu itu, penuh dengan kebimbangan.
"Sementara
untuk melanjutkan kisahku, aku lelah menunggu kapan maminya akan merestui
hubungan ini. Aku butuh kepastian."
Dan aku tak
lagi mampu berkata apa lagi. Cintamu sungguh berada dalam dilema.
"Dan
kau tahu, dia tidak akan pernah menikah dengan siapapun kecuali denganku. Itu
janjinya padaku!" Katamu begitu yakin.
Begitu
besarkah cinta kalian? Rasanya, aku akan menunggu pembuktian itu. Iyaaa... aku
menunggu pembuktian itu.
Untuk kau,
aku tahu kau lelaki yang baik. Aku yakin, suatu saat kau pasti akan mendapatkan
gadis yang lebih baik jika dia memang bukan jodohmu.
Iya,
semangatlah. Hidup bukan sebatas mencinta. Yakinlah akan kehendak Tuhan. Karena
Dia adalah pemilik skenario yang terbaik.
Jika aku
saja mampu melewati semua lukaku, kuyakin kaupun pasti mampu melewati jalanmu
yang penuh dengan duri.
Selamat
malam dan semoga kau mimpi indah.
Salam
Hangat
Witri
Prasetyo Aji
setuju. setuju banget.
ReplyDelete-Ikavuje, kadang suka speechless.
Setuju apanya, hayoooo....
ReplyDelete