Surat Hari 1 : Di Saat Sendiri
Alone |
Untukmu yang sendiri,
Mereka bilang, aku
bukanlah gadis yang normal. Mereka pikir, aku tak punya rasa untuk kaum adam.
Iya, karena aku sendiri di antara sahabat yang berdua. Bukan karena tiada
cinta, tapi nyatanya hati enggan mencinta.
Hmm, apakah karena masih
tersimpan cinta untuk dia, dia dan dia? Antau lara itu terlalu pahit dan
menakutkan jika terulang kembali?
Tidak...
Bukan begitu. Aku hanya
takut melukai. Aku takut, cinta yang semestinya membuat bahagia justeru menjadi
kecewa berderai tangis.
Kau tahu, hati yang lara
tak akan mudah kuat begitu saja. Bukan obat bukan resep yang mampu
menyembuhkannya, tapi waktu adalah obat yang paling mujarab. Dan aku tak ingin
menoreh luka hingga waktu mampu menyembuhkannya.
Aku tahu rasanya terluka
dan aku enggan untuk meluka.
Mungkin, kau pikir, itu
hanya alasan klise dalam kesendirianku. Tapi jika nyatanya begitu? Apa aku
harus mendusta?
Toh berdua juga tak
semudah yang terbayangkan. Berdua juga bukan jaminan bahagia, bukan? Berdua
terkadang hanya simbol kemenangan lantaran gengsi. Karena pada nyatanya, banyak
di antara mereka yang sendiri namun bahagia. Seperti aku...
Aku bahagia dengan
kesendirian ini. Aku menikmatinya. Dan sama sekali tiada rasa malu bila aku
berjumpa dengan mereka yang berdua.
Hmm... buat kau yang
sendiri, sama sepertiku, tak seharusnya kau menaruh gengsi apalagi malu.
Kesendirian itu simbol kebebasan yang seharusnya membuatmu bahagia untuk
menggapai mimpimu tanpa larangan. Kesensirian adalah cara terbaik untuk
menikmati hidup tanpa ikatan.
Kurasa, cukup sekian
kutorehkan cerita ini. Jangan bersedih, jangan berduka. Biarkan waktu yang
menjawab semuanya. Tak usah dengarkan apa kata mereka, karena mereka hanya
menonton, kita yang menjalani dan merasakannya.
Salam cinta,
Witri Prasetyo Aji
0 Response to "Surat Hari 1 : Di Saat Sendiri"