SETIAP IBU PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA
Assalamualaikum, Bundaku yang terhormat serta yang tercinta…
Bunda, apa kabar denganmu? Kuharap, Kau selalu dalam lindunganNya. Bunda, saat aku menulis surat cinta ini, aku tengah bersantai di kantor. Tiada niatan membuka koreng lama yang terpendam, tapi sungguh, aku hanya ingin menapak tilas tragedi silam yang mungkin Engkau benci, begitu pula denganku.
Bunda, masih teringat jelas dalam anganku, kesalahan enam tahun silam yang membuat malu keluarga. Aih, aku ingat dengan pasti, usiaku saat itu baru menginjak angka 18, baru lulus SMA. Ibarat bunga, baru ranum dan sungguh menggiurkan bagi siapa yang menjejalkan penglihatannya.
“Riyo,” kala itu dia memperkenalkan dirinya padaku. Meski sebenarnya aku sudah tahu namanya. Tapi, sebagai seorang gadis, bukankah hal yang wajar bagiku untuk berbasa-basi? Begitulah dulu Bunda mengajarkan? Agar aku tak bertindak seperti para jalang di jalanan.
Aku tersenyum. “Lala,” balasku memperkenalkan diri.
Semenjak perkenalan singkat itu, aku dan Riyo terlihat sangat akrab. Aku yang tengah beranjak dewasa, bahagia lantaran berkenalan dengan seorang lelaki yang lebih dewasa dariku dan tak bisa kusangkal, dia cukup tampan, Bunda. Perkulitannya putih bersih, senyumannya manis lantaran dia mempunyai gigi gingsul dan sungguh kata-kata manis yang dilontarkannya setiap saat selalu meninggalkan bekas dalam detak jantungku.
Tanpa sepengetahuan Bunda, aku dan Riyo kerap mengadakan pertemuan rahasia. Dia mengajakku bermain dari mall ini ke mall itu, membelikanku berbagai pakaian, sepatu, tas ataupun accesoris lucu seperti boneka. Dan aku selalu bilang pada Bunda, “aku membelinya sendiri, Bund. Aku kan juga punya uang tabungan.” Begitulah jawabanku, apakah Bunda masih ingat itu?
Selain itu Riyo juga kerap mengajakku bermain ke tempat wisata seperti pantai, candi dan yang lebih menggelikan lagi, dia mengajakku ke kebun binatang. Hahaha. Seperti anak TeKa saja ya, Bund?
Bunda tahu, kenapa aku sangat senang?
Di usia labil sepertiku, aku haus akan refreshing. Aku malu pada teman-temanku lantaran aku tak pernah punya pengalaman ke sini ke situ. Makanya, kehadiran Riyo yang selalu mengajakku mengunjungi tempat-tempat asing adalah kesempatan emas bagiku. Biar aku tak lagi terlihat katrok di hadapan teman-temanku.
Padahal ya, Bunda, saat ini aku berfikir, apa untungnya kekonyolan itu? kalau dipikir, bermain hanya membuang-buang waktu saja. Seharusnya aku belajar, tapi justeru bermain-main. Oh, sungguh merugi…
Hampir setahun aku dan Riyo dekat, Bund. Tapi sekalipun, dia tak pernah berucap cinta atau mau bersilahturahmi pada Bunda. Padahal, sebagai seorang gadis : meski usiaku masih muda, aku membutuhkan kejelasan.
“Yo, bagaimana kelanjutan hubungan kita?” Tanyaku pada Riyo saat dia mengajakku makan siang di salah satu restaurant apung yang adadi sudut kota.
Sejenak Riyo terdiam. Dia meraih jemariku, meremasnya lembut. Tapi selanjutnya, dia tak memberikan penjelasan lebih.
Sampai pulang ke rumah…
Aku terkejut, Bunda. Sosok lelaki berdandan laksana ustadz. Dia mengenakan baju koko berwarna putih, memakai peci dan sarung. Datang ditemani ayahnya. Mengucapkan maksud hati untuk meminangku.
Aku hanya terdiam dan menunduk. Aku belum bisa menjawabnya saat itu juga. Karena saat itu, hatiku meragu pada kedekatanku bersama Riyo. Sementara lelaki di hadapanku yang memperkenalkan diri bernama Yusuf itu belum pernah aku kenal sebelumnya.
Bunda. Aku belum bisa menjadi gadis muslimah yang baik. Aku belum bisa menjalankan semua peintahNya seperti ajaran nabi. Aku masih kotor. Aku masih melakoni kehidupan metropolitan. Aku masih menjalani ritual pacaran. Sementara pakaianku, aku masih memakai balutan busana yang kekurangan kain. Sementara Yusuf?
Seminggu berlalu…
Aku dan Riyom kembali mengadakan pertemuan rahasia. Kali ini, dia mengajakku bertemu di kedai es krim yang terletak di pinggir utara pasar kota. Ah, aku ingat dengan yakin, sewaktu kecil Ayah selalu mengajakku ke sini. Membelikan es krim rasa vanila. Sementara Bunda, Bunda sibuk belanja di pasar kota.
Kembali lagi, Bund, aku bercerita tentang kisah cintaku, bukan tentang kenangan bersama Ayah.
Aku bercerita pada Riyo akan lamaran Yusuf. Kutatap dia dengan tatapan tajam. Ada semburat merah berkilat dalam sinar matanya. Tiba-tiba aku bergidik, tubuhku merasa menggigil. Dia lalu mencengkeram pergelangan tanganku dengan kuat. Aku merasa kesakitan.
“Kau tidak boleh menerima lamarannya! Kau tidak boleh menikah dengannya!” Ucapnya dengan nada meninggi, hingga beberapa pasang mata yang berada di kedai itu tertuju ke arah kami.
Aku ketakutan, Bund. Aku ingin sekali lari darinya. Tapi aku takut. Akupun mencoba menenangkan diri.
Riyo yang kukenal pendiam dan penuh kelembutan, kini bereikarnasi menjadi Riyo yang berlagak tak ubah dengan singa.
Beberapa menit kemudian, Riyo melepaskan cengkeramannya. “Maafkan aku, aku khilaf. Kau tidak apa-apa?” Tanyanya penuh kelembutan.
Aku menggeleng ragu. Tanpa pikir panjang, aku menyambet tasku lalu berlalu darinya. Aku berlari. Tak peduli dengannya yang memanggil-manggil namaku. Dia berusaha mengejarku, tapi sepertinya security menahannya. Dia belum membayar pesanan kami.
Saat aku sampai di rumah, Bunda ingat kan sewaktu aku minta peluk Bunda? Saat itu aku bohong, Bund. Aku menangis bukan lantaran jatih dari sepeda, tapi aku menangis lantaran aku takut akan Riyo.
Malam haripun akhirnya datang menjelang. Yusuf berserta ayahnya kembali bertandang. Mereka menanyakan perihal jawabanku.
Aku ingat, Bunda terkejut. Ada amarah yang menggeliat saat aku berkata, “aku tidak bisa menikah denganmu, aku sudah mempunyai calonku sendiri!” Ucapku dan tanpa permisi, akupun berlari ke kamar.
Beberapa hari, Bunda mendiamkan aku. Hingga entah dari mulut mana Bunda tahu perihal hubungan gelapku dengan Riyo.
“Yang benar saja, Niss, kau menolak Yusuf demi Riyo?” Marah Bunda dengan nada meninggi. Yusuf itu seorang ustadz, ayahnya seorang kyai. Sementara Riyo? Dia anak penjudi, ayahnya suka mabuk-mabukan dan gonta-ganti perempuan,” lanjut Bunda memakinya.
Saat itu, seketika itu juga, air mataku membuncah. Ada nada kecewa yang mengiring isak tangisku. Ada pula rasa tidak ikhlas ketika Bunda menghinanya. Apa semua ini, benar rasa cinta?
“Riyo tidak seperti ayahnya, Bund,” aku membelanya di antara isak tangis.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya!”
Aku langsung terdiam. Aku sama sekali tak punya pembelaan. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka, Bund.
Dan sore itu, aku sama sekali tidak mengadakan perjanjian dengannya, Bund. Tapi entah darimana dia tahu kalau sore itu aku berada di taman bersama teman-teman satu kompleks.
Dengan kasar, Riyo menarikku menjauh dari teman-teman.
“Kenapa kau menghindariku? Apa salahku padamu?” Tanyanya padaku.
Aku takut, Bund. Aku kembali bergidik.
“Jawab, Niss!” Akhirnya dia membentakku. Padahal Bunda tahu, aku tidak pernah suka dibentak. Seketika, emosiku mencapai puncaknya.
“Bunda tidak merestui hubungan kita!” Jawabku dengan nada bentakan pula.
Dia memberengut. Beberapa detik, suasana hening.
“Sekarang kau pilih saja, aku atau Bundamu?” Dia memberikan pilihan.
Ini kegilaan namanya. Mana bisa aku meninggalkan wanita yang sudah mengandungku, melahirkanku dan membesarkanku.
“Aku memilih Bunda!” Jawabku dengan matang.
Dan itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Aku sedikit lega karena dia tak lagi menggangguku, tapi juga ada semburat kecewa karena aku merindunya.
Selang lima tahun kemudian…
Kini aku punya gelar sarjana, Bund. Usiaku sudah menginjak angka 24. Ah, sebenarnya aku kecewa, Bund, setahun waktuku terbuang sia-sia lantaran saat itu aku menganggur dan justeru mengukir sejara cinta yang menjadi buah bibir para warga. Ah, bagaimana tidak? Seorang Anissa, menolak lamaran seorang ustadz dan lebih memilih anak seorang penjudi. Bisa kubayangkan, bagaimana malunya Bunda saat kucoreng wajah keluarga dengan arang.
Tapi sudahlah, Bund. Sekarang aku sudah bisa menentukan langkahku sesuai nasehat Bunda. Berhati-hati mengenal sosok lelaki.
Lelakiku ini lelaki biasa, Bund. Dia bukanlah sosok lelaki berpangkat atau berseragram. Dia juga bukan seorang ustadz, tapi dia juga bukan anak penjudi.
Bunda tahu, dia menghafal surat Yasin dan sudi mengamalkannya ketika dia menginginkanku menjadi makmumnya dan kuberikan syarat untuknya. Dia benar bersungguh-sungguh kan, Bund? Buktinya, dia membawa kedua orangtuanya untuk meminangku. Dan satu lagi, Bund, Beliau pulalah yang mengarahkanku untuk menutup auratku, bukan sekedar membalut, tapi benar menutup.
Ah, aku lega meskipun sempat berdebar. Bunda memberikan restunya.
Kini, usia pernikahanku dengan Mas Raka sudah menginjak angka 2, Bund. Kami dikuarunia seorang anak lelaki yang kami beri nama Arjuna. Arjuna sangat tampan, seperti ayahnya. Dia juga pandai, Bund.
Dan satu lagi, Bund, kini Nissa tahu kenapa saat itu Bunda melarang hubunganku dengan Riyo. Benar, dia bukan sosok lelaki yang baik. Gonjang-ganjing terakhir yang kudengar tentangnya, dia meninggalkan anak isterinya dan menikah dengan perempuan yang lebih muda. Dia suka berjudi hingga hartanya terkuras. Dia suka berteman dengan alkohol. Aih, sungguh dia berbeda jauh dengan Mas Raka yang merokokpun tak pernah.
Ah, kini aku juga seorang ibu, sama seperti Bunda. Dan setiap ibu, pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, begitupun Bunda yang menginginkan yang terbaik untukku, dan aku juga menginginkan yang terbaik untuk Arjunaku.
Bunda. Aku harus kembali pada pekerjaanku. Mungkin hanya baitan cerita ini yang bisa kukirimkan pada Bunda. Nisaa janji, bila ada waktu luang, biarkan Nissa sambung kembali sejarah ini.
Bunda. Terima kasih telah memberikan yang terbaik untuk Nissa. Terima kasih telah menjadi ibu yang baik untuk Nissa. Dan terima kasih telah mengajari Nissa menjadi ibu yang baik.
Salam sayang untuk Bunda…
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Anissa Lutfia Ramadhani
Boyolali, 27 Februari 2015
Short Story by Witri Prasetyo Aji
Boyolali, 27 Februari 2015
Short Story by Witri Prasetyo Aji (WAHYU TRIYANI)
http://www.sejutaekspresi.com/tulisan/setiap-ibu-pasti-ingin-yang-terbaik-untuk-anaknya-2/?fb_action_ids=671914426264814&fb_action_types=og.likes
Nasehat bunda adalah nasehat terbaik buat anaknya. Syukurlah Nissa kamu diberi pemahaman sehingga tidak memilih Riyo.
ReplyDeleteThanks for this short story :D
Salam kenal Mbak :)
Salam kenal juga Mbak Arinta,
DeleteTerima kasih sudah mampir :))