“Lo
cinta sama gue, hahaha,” gue tertawa terbahak-bahak. Mana mungkin seorang Aldio
jatuh cinta sama cewek manja macam gue. Gue berusaha mengatur nafas,
menghentikan tawa yang tak Aldio suka. “Emangnya, apa yang ngebuat lo jatuh
cinta sama gue?” gue bertanya, penasaran.
Aldio
menatap tajam gue, dan tatapannya
itu justeru semakin membuat gue tertawa. Gue masih belum bisa percaya kalau Aldio ngatain cinta ke gue. Secara, Aldio itu udah kayak kakak gue, ke mana-mana nganterin gue kayak sopir gue, kalau gue ada masalah, gue ceritanya ke dia. Tapi gue sama sekali nggak pernah nyangka kalau di hatinya tuh tumbuh benih-benih cinta buat gue. Mana mungkin seorang kakak jatuh cinta sama adiknya?
itu justeru semakin membuat gue tertawa. Gue masih belum bisa percaya kalau Aldio ngatain cinta ke gue. Secara, Aldio itu udah kayak kakak gue, ke mana-mana nganterin gue kayak sopir gue, kalau gue ada masalah, gue ceritanya ke dia. Tapi gue sama sekali nggak pernah nyangka kalau di hatinya tuh tumbuh benih-benih cinta buat gue. Mana mungkin seorang kakak jatuh cinta sama adiknya?
“Mungkin
seseorang butuh seribu alasan untuk membenci seseorang, namun seseorang tak
butuh alasan untuk mencintai seseorang,” Aldio sok puitis. “Kalau gue balik
tanya, apa yang ngebuat lo setia sama Rey? Padahal sudah berulang dia
nyelingkuhin lo,” tawa gue langsung menghilang mendengar nama Rey dan
perselingkuhan.
“Hanya
cinta yang membuat gue bertahan,” ucap gue dengan getir. Jujur saja, gue nggak pernah ngerti kenapa
gue nggak pernah bisa berlari dari Rey. Gue nggak pernah paham dengan hati gue,
gue yang bodoh atau memang Rey yang pinter merayu gue hingga hati gue mudah luluh.
Toh kalau dilihat-lihat, tampang Rey biasa saja, sama sekali tak ada yang hebat
dalam diri Rey.
“Kenapa
lo jatuh cinta sama dia? Padahal apa hebatnya dia?”
Gue
terdiam dan menggeleng pelan. Lalu menunduk.
“Lo
nggak tahu kan, kenapa lo jatuh cinta sama playboy macam Rey. Sama! Gue juga
nggak tahu kenapa gue harus jatuh cinta sama cewek manja macam lo!”
Gue
masih terdiam dan menunduk. Cinta memang tak pernah membutuhkan alasan. Bukan hal
yang konyol seandainya Aldio memang benar-benar jatuh cinta sama gue. Gue cewek,
dan Aldio cowok. Tak ada yang salah bukan, jika dewi amor menancapkan panahnya
di hati kami.
“Jujur
Sya, gue selama ini cemburu ngelihat lo pacaran sama Rey. Tapi gue bisa apa
kalau lo bahagia sama dia...” Aldio mulai mencurahkan isi hatinya. “Gue berni
jujur, karena gue udah nggak tahan ngelihat lo selalu disakiti sama tuh cowok. Lo
terlalu baik buat dia. Lo nggak pantas terus-terusan bertahan sama dia. Buka mata
lo, Sya. Ada gue yang selalu ada buat lo.”
Aldio
memang benar, dia selalu ada buat gue. Tapi yang namanya cinta itu nggak pernah
bisa dipaksa. Mencintai Rey lebih mudah ketimbang gue move on dari dia. Dan
entah mengapa, gue yakin banget kalau kesetiaan gue akan berujung kesetiaan
juga di hati Rey.
Gue
beranjak dari duduk gue tanpa sepatah katapun. Aldio hanya membiarkan gue
menjauh darinya. Entah mengapa, ada bagian yang sakit yang tiba-tiba menjalar
dalam dalam otak gue.
Gue
nggak bisa ngebiarin Aldio mencintai gue. Gue nggak bisa!
***
Ada
yang berbeda semenjak Aldio mengungkapkan perasaannya ke gue. Gue dan Aldio
justeru semakin merenggang. Ada sekat yang tiba-tiba hadir dalam hubungan kami.
Gue
kerap sekali sendiri. Sementara Aldio? Entah memang sengaja ingin membuat gue
cemburu atau bagaimana, Aldio kerap sekali menampakkan kedekatannya dengan
cewek-cewek lainnya. Bukan hanya satu, tapi beberapa. Mungkin dia akan
mengikuti jejak Rey, playboy.
“Sialan
banget tuh cowok, ganteng juga kagak, mau berlagak playboy,” gerutu Risna saat
usai kuliah.
Gue
mengerutkan kening. Yang gue tahu, beberapa hari ini Risna dekat dengan Aldio.
“Maksud
lo, Aldio?” gue bertanya.
“Siapa
lagi?” Risna nampak kesal. “Baru kemaren bilang cinta ke gue, eh tadi pagi si
Amel udah berproklamasi kalau tadi pagi Aldio ngejemput dia dan bilang cinta ke
dia,” Risna bercerita.
Oh
ya?
Gue hanya
tersenyum dan menggelengkan kepala.
Baru
saja gue dan Risna akan keluar kelas, sosok Aldio sudah bergandengan dengan
Rizki.
“Tuh
liat, Sya, udah ganti lagi, kan?” tunjuk Risna dengan wajah kesalnya.
Gue
hanya terdiam. Aldio kayak gitu, apa gara-gara gue?
***
“Gue
mau bicara sama lo!” ucap gue ke Aldio. Gue memang sengaja menemuinya ke
lapangan basket. Menghentikan permainan basketnya bersama teman-temannya.
“Maksud
lo apa sih, Di? Mainin cewek-cewek. Emangnya mereka punya salah apa ke lo?” gue
nggak tahu kenapa gue marah-marah. Entah karena gue simpati sesama kaum gue
atau sebenernya gue... cemburu.
Aldio
tersenyum sinis, seolah mengejek gue. “Bukannya lo lebih suka cowok yang suka
mainin cewek?”
“Maksud
lo ngomong apa?”
“Lo
lebih suka, kan, cowok playboy ketimbang cowok setia?”
Ada
api yang tiba-tiba membakar otak gue. Tanpa pikir panjang, gue angsung menampar
Aldio di hadapan banyak orang. Gue tahu, pasti Aldio malu banget.
Aldio
menatap tajam gue. Mencengkeram bahu gue, hingga gue merasa kesakitan. Mata kami
saling beradu. Sedtik, gue ngerasa bibir gue hangat. Oh my GOD, Aldio mencium
gue di depan banyak orang? Di depan Risna, Amel, Rizki dan cewek-cewek yang
tengah termakan rayuannya?
Mungkin
wajah gue sudah seperti kepiting rebus. Gue menatap Aldio tajam, gue kecewa. Tanpa
sepatah katapun, gue langsung berlari meninggalkan lapangan basket.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete