Malam itu, sekitar pukul 23.33 WIB, Qiara
terbangun dari tidurnya. Aku kaget, tak seperti biasanya Qiara bangun tengah
malam. Aku menatapnya lekat, Qiara tetaplah Qiara, tapi malam ini? Dia terlihat
jauh lebih cantik dari biasanya.
“Ada
apa, Ma?” tanyaku penuh perhatian.
“Mama
capek, Yah,” jawabnya singkat.
“Ayah
pijitin ya?” tawarku dan masih dengan perhatianku terhadapnya.
“Kenapa,
Ma?” tanyaku bingung.
“Mama
capek jadi istri Ayah,” ucapnya lalu meninggalkan ranjang kami.
Aku
mencoba meredam amarahku. Sifat istriku yang tadi manja, kini berubah menjadi
api yang siap membakar otakku. Aku mencoba berpikir positif dan membiarkannya
begitu saja, memberinya waktu untuk menenangkan diri, dan berharap esoknya aku
akan menemukan bidadariku itu tersenyum manis untukku.
***
Aku
menemukannya menangis tersedu. Binar di matanya yang biasanya menyihirku, kini
tenggelam bersama air mata yang memudarkan cerianya. Bidadari cantikku bagaikan hilang di telan
alam. Aku terasa asing melihatnya.
“Mama
capek, mama capek jadi istri Ayah. Mama pengen sendiri!” ucapnya di anatar isak
tangisnya.
“Tapi
kenapa, Ma? Apa salah Ayah?” protesku.
Qiara
hanya terdiam. Dia lalu pergi meninggalkanku begitu saja. Tanpa menyiapkan
sarapan untukku, Qiara berlari ke luar rumah dan membanting pintu.
Aku
tak bisa mendiamkannya. Aku berlari mengejarnya.
Mengejar
Qiara yang bagaikan orang gila, menangis menelususri jalanan dengan memakai
baju tidur dan rambut acak-acakan.
Oh,
Tuhan. Apa yang terjadi dengan istriku?
***
“Qiara!”
teriakku memanggilnya. Tapi sama sekali tak dipedulikannya.
Qiara
justru semakin mempercepat langkahnya dan berlari. Berlari hingga......
“Brukkkk!”
“Qiaraaaaaa!!!”
teriakku sekeras mungkin.
***
Aku
tak akan pernah bertemu dengannya lagi. Aku tak akan pernah bisa memeluknya,
melihat binar di matanya, melihat senyum yang selalu menghangatkan jiwaku.
Kini,
dia telah pergi, pergi untuk selama-selamanya. Sang Pencipta, telah
mengambilnya dariku. Tapi, mengapa harus dengan cara seperti ini? Mengapa?
Qiara
pergi karena kecelakaan, membawa luka, membawa pikiran yang tak waras. Dan semua,
karena aku. Iya, aku. Bukan orang lain.
Sekarang,
tiada hal yang bisa aku lakukan selain menyesal. Istri yang sangat aku cintai
telah tiada. Semua yang aku lakukan, terasa percuma.
“Kau
tega, Ma. Kau tega!” teriakku pada foto Qiara yang sedari tadi berada dalam
genggamanku.
Air
mataku pun tertetes. Aku tak sanggup membendungnya.
bagus kak cerpennya ttg suami yang kehilangan istrinya. keep writing kak!
ReplyDeleteHiks...Qiara meninggalkan suaminya tanpa memberi alasan kenapacapek jadi istrinya...eh, tapi ini fiktif kan *semoga bukan nyata*
ReplyDelete