Aku tahu,
keputusanku kali ini pasti akan menyakiti hati isteriku, pasti isteriku akan
marah mendengar curahan hati ini, dan mungkin anak-anakku juga akan marah
padaku. Tapi sungguh, tak ada niatan lain untukku selain untuk beribadah. Dan
aku tidak mau perasaan ini mejadi dosa.
Bagaikan buah
simalakama, mungkin itu yang tengah aku rasakan saat ini. Tapi apa boleh
dikata, hati enggan untuk berdusta. Dan bukan suatu hal yang dilarang oleh agama jika seorang lelaki mempunyai isteri lebih dari satu.
dikata, hati enggan untuk berdusta. Dan bukan suatu hal yang dilarang oleh agama jika seorang lelaki mempunyai isteri lebih dari satu.
·
* *
*
Hari sudah menjelang larut, sementara hujan masih turun dengan
lebatnya. Di halte yang tidak jauh dari kantor, aku menunggu bus langgananku.
Tapi, tiba-tiba saja mataku terbelalak melihat seorang wanita muda mengenakan
rok pendek. Dandanannya cukup menor, cukup bagiku untuk menilai siapa dia.
Tapi, anggan itu tiba-tiba menjadi ragu. Matanya terlihat sembab, sepertinya
dia habis menangis.
Aku ingin mendekat ke arahnya, ingin tahu apa yang terjadi padanya.
Tapi, bukan hal yang sopan untuk aku bertanya tentang privasi orang. Apalagi
aku belum mengenalnya. Dan, bukan hal yang baik untuk seorang suami mendekati
wanita lain, sementara isteri dan anak-anak tengah menunggu di rumah.
Aku hanya diam saja, sampai bus datang. Tapi, keesokan harinya aku
kembali melihat wanita itu. Dengan dandanan yang hampir sama juga. Dengan
tangis yang semakin menjadi. Dan hal itu semakin membuat aku penasaran,
siapakah dia?
“Mbak,” tanyaku mendekat ke arahnya.
Wanita itu menoleh memandangku, air matanya semakin membuncah. Dia
tiba-tiba memelukku dan menangis di pelukanku.
Astagfirullohaladzim, batinku
menjerit dan rasanya ingin segera melepaskan pelukan wanita itu. Tapi aku tidak
tega.
“Maaf, Mbak. Tolong lepaskan pelukan ini. Mbak ini sebenarnya ada
apa?” ucapku tiba-tiba karena ada beberapa pasang mata yang menoleh ke arah
kami.
Tak berapa lama kemudian, wanita itu melepaskan pelukannya.
Tangisannya mereda. Dia mengusap wajahya. “Maafkan saya, Mas. Saya hanya
merindukan tempat untuk bersandar. Saya lelah dengan hidup ini,” cerita wanita
itu penuh frustasi.
“Jangan bicara seperti itu, Mbak. Setiap masalah kan ada jalan
keluarnya,” ucapku padanya.
Sejenak wanita itu terdiam. “Tapi tidak untuk masalah saya, Mas.
Semua jalan sudah buntu.”
“Masih ada Allah yang akan menolong kita, Mbak.”
“Allah? Allah mana mau membantu wanita hina seperti saya, Mas. Saya
ini janda, pelacur, ada anak-anak dan ibu saya yang sakit-sakittan dan
membutuhkan uang banyak, Mas. Mantan suami saya kawin lagi dan tidak peduli dengan
saya dan keluarga saya, Mas!”cerita seolah emosi.
Aku hanya terdiam. Oh, itukah hidup wanita ini? Janda? Pelacur? Apa
memang terlalu berat beban yang dipikulnya?
Dan semenjak saat itu, hubunganku dengan wanita yang ternyata
bernama Ana itu semakin erat. Ya, kami kerap sekali ngobrol di halte, atau
terkadang juga ngopi bareng di cafe yang tak jauh dari kantorku.
Ana banyak bercerita kepadaku. Tentang pilunya dan beratnya hidup
yang disandangnya. Aku tak bisa berkomentar apa-apa, melarangnya melacur pun aku
tak kuasa, selagi aku belum bisa memberinya pekerjaan.
Waktupun bergulir begitu saja. Dan entah apa yang terjadi di
hatiku, aku merasakan sesuatu yang lain dengan perasaanku. Ada suatu keteduhan
lain yang terjadi disaat aku tengah bersama Ana. Dan sepertinya, aku telah
jatuh cinta padanya.
·
* *
*
Malam itu hujan turun dengan lebatnya. Ya, situasi seperti ini sama
persis saat aku melihat Ana. Mungkin yang membedakannya, aku sekarang telah
mengenal Ana, sementara dulu, aku sama sekali belum mengenalnya.
“Mas, kenapa nggak pulang? Isterimu dan anak-anakmu sudah
menunggunya?” ucap Ana padaku.
Aku menoleh ke arahnya. Ana tengah menatapku lalu tersenyum padaku.
Sorot matanya, Ana terlihat lebih kuat daripada beberapa bulan yang lalu saat
aku pertama bertemu dengannya.
“Lantas, bagaiman dengan kamu?” ucapku bertanya.
Ana tersenyum getir. “Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti
ini,” jawabnya tanpa memandangku. Tatapannya lurus ke depan menerawang
rintik-rintik air yang membasah jalanan.
“Apa kau ingin menjajakan diri lagi?”
“Itu sudah pekerjaanku!”
“Tapi aku tidak menyukainya, Ana!”
Ana menoleh ke arahku.
“Aku jatuh cinta padamu, Ana. Dan aku ingin menikahimu!” ucapku
dengan penuh keyakinan.
“Tapi,” Ana berusaha memotong ucapanku.
“Tapi aku tidak ingin hubungan kita semakin jauh dalam zina, aku
ingin hubungan kita menjadi sesuatu yang halal di mata agama kita, Ana!”
·
* *
*
Dan semua terasa begitu berat ketika aku harus mengutarakan niatku
ini kepada Arini—isteriku sekaligus ibu dari Fitri dan Rani.
Selama tujuh tahun pernikahan kami, Arini selalu melakonkan
kewajibannya sebagai seorang isteri yang taat dan patuh pada suaminya. Dan
semenjak Fitri lahir, Arini juga berperan sebagai seorang ibu yang sempurna
untuk anak-anakku.
Tiada yang kurang dari seorang Arini. Dan mungkin akunya yang salah
jika berniat ingin menduakannya. Tapi aku pun juga tak bisa begini
terus-terusan. Aku tak mau semakin berdosa.
“Rin,” panggilku lirih.
“Iya, Mas. Ada apa?” jawabnya sembari mengumbar senyuman untukku.
Aku semakin tak tega untuk mengutarakan niat ini. Arini begitu
sempurna di mataku. Tapi tiba-tiba saja wajah Ana terbayang dalam imajinasiku.
“Bagaimana jika aku ingin menikah lagi, Rin? Apa kau akan
mengizinkannya?” tanyaku tanpa basa-basi.
Sontak, senyum Arini memudar. “Maksudnya apa, Mas?” tanyanya.
“Aku serius, Rin,”
ucapku. Lalu, aku menceritakan semuanya pada Arini. Ya, air mataku isteriku
mengalir. Aku berusaha mengusapnya, tapi Arini menolaknya.
“Maafkan aku,
Rin,” ucapku.
“Nggak ada yang
salah, Mas. Mas bukan milik siapa-siapa, Mas itu milik Allah. Dan bukan hakku
untuk melarang Mas menikahinya,” ucap Arini di tengah isak tangisnya.
“Apa maksudmu,
Rin?”
“Jika dengan
menikahinya itu lebih baik, InsaAllah aku ridho, Mas,” ucapnya lalu pergi
meninggalkanku.
0 Response to "IZINKAN AKU MENDUA"