Latest News

MENULIS ADALAH TERAPI JIWA

MENULIS ADALAH TERAPI JIWA


MENULIS ADALAH TERAPI JIWA. Di dunia ini, siapapun orangnya pasti punya masalah. Pun dengan saya. Meskipun kadang saya suka tertawa terbahak-bahak, bukan berarti saat itu saya behagia dan tanpa masalah. Begitupun saat saya menangis, belum berarti saya enggak bahagia.


Setiap manusia pasti punya masalah. Tapi mereka mempunyai cara tersendiri untuk mengemas masalah itu dan mempunyai cara tersendiri pula untuk menghadapinya sampai menyelesaikannya.  Ada yang mewaraskan dirinya dengan me time. Dan setiap me time seseorang itu berbeda-beda. Ada yang suka naik gunung demi menjaga kewarasannya, yang emak dan embak mungkin dengan nyalon dan shoping, dan yang lainnya.

Tulisan ini adalah collaborative blogging. Baca juga :
Liza                       : 3 Langkah Menghilangkan Trauma Dalam Menulis
Virly                      : Tentang Kutukan Penulis, Kebetulan dan Fiktif Belaka
Ade                       : Ada Suatu Masa Saya Ingin Berhenti Menulis


Lantas, bagaimana dengan saya? Seorang momworking sekaligus blogger, dengan segudang aktivitas dan pekerjaan kantor yang begitu membludak?

Bohong jika saya selalu waras dalam menjalani setiap aktivitas saya. Munafik sekali jika saya berkata, saya selalu bahagia dan hidup saya tanpa masalah.  Meskipun beberapa kawan berkata, saya ini tipekal orang yang ceria, tapi kenyataannya pasangan saya tak berkata begitu. Bahkan di suatu malam, mas bojo pernah protes : “Ayah kangen mama yang dulu, mama yang selalu ceria dan penuh senyuman.”


Saya hanya mampu terdiam. Kenyataannya saat kita tengah diuji banyak masalah, tersenyum menjadi suatu hal yang cukup sulit. Jika dulu saya mudah tersenyum, karena masalah dulu lebih ringan dari apa yang sekarang saya lakoni. Dulu Cuma mikir kuliah, jajan, maen, pacaran, sahabat dan diri sendiri. Sementara sekarang? Pagi sampai siang saya berada di kantor, sebagai kepala sekalgus staf Tata Usaha yang mengerjakan segala administrasi sekolah dan operator sekolah dengan tanggung jawab yang begitu besar. Sementara saat pulang dari kantor, saya sudah harus bersiap dengan anak lanang yang sedang aktif-aktifnya. Sayapun dituntut harus aktif menstimulasinya dan menemaninya belajar. Belum lagi saya juga punya pekerjaan sebagai blogger, hingga sejenak meninggalkan impian sebagai penulis.


Di kantor, urusan bukan soal pekerjaan saja. Tapi juga soal hubungan dengan rekan kerja yang terkadang pasang surut. Pun di rumah. Bukan Cuma urusan anak dan pekerjaan rumah saja. Tapi juga banyak masalah-masalah yang menghampiri. Bukan sekedar ngomongin ekonomi saja, tapi juga ada bumbu cinta dan keluarga besar. Ah, namanya juga hidup, pastilah banyak masalah.


Dari sekian banyaknya masalah, lantas bagaimana saya menjadikan diri ini tetap waras?

Me time, itu adalah jawaban saya. Jujur, saya adalah sosok yang suka jalan-jalan dan jajan. Bahkan, saya bisa uring-uringan sendiri kalau lama enggak jalan—biasanya ngemall—dan jajan. Etapi mengingat kondisi diri saat ini, saya adalah seorang ibu yang punya tanggung jawab, sayapun bisa berdamai soal jalan dan jajan. Saya mencoba dengan melakoni me time saya yang bisa saya kerjakan di rumah.


Me time ala saya...

Me time saya adalah nonton film. Padahal saya ini gampang baper. Wkwkwk... Selain itu, me time saya adalah membaca. Biasaya saya suka sekali melahab novel romance. Dan me time sekaligus terapi jiwa bagi saya adalah menulis. Dengan menulis, saya merasa beban saya berkurang. Yups, mungkin ini adalah efek karena saya sedari remaja memang suka menulis diary dan mencurahkan segala keluh kesah melalui tulisan.


Saya memang lebih suka menulis daripada curhat alias ngomongin masalah diri ini. Saya tipekal perempuan yang sulit mengungkap kata melalui bicara. Belum rampung saya curhat, bisa jadi saya sudah nangis sesenggukan. Makanya, saya lebih suka curhat dalam bentuk tulisan.


Di mana saya harus curhat?

Jika dulu saya punya buku diary, apakah sekarang masih punya? Saya jawab TIDAK PUNYA! Mungkin karena perkembangan teknologi, saya yang dulu suka curhat di buku diary sampai dikunci-kunci, lah sekarang kok dengan pedenya suka curhat di medsos dan banyak dibaca orang. Belum lagi hobi yang suka nyepam di twitter dan PM BBM. Duh...


Etapi jangan salah, saya menyelipkan curhatan saya dalam bentuk fiksi. Jadi enggak jarang teman-teman saya nanya, itu buat bahan tulisan terbaru, ya? Saya jawab saja iya, meskipun sebenarnya saya tengah curcol dan galau.


Terkadang, saya menulis cerpen sekaligus curhat. Soalnya saya pernah, curhat mentah-mentah di blog dan menuai banyak protes. Alhasil, sayapun memprivat tulisan saya itu dan Cuma tayang sehari doang. Dan dari curhatan saya itu, banyaklah penilaian postif dan negatif sekaligus saran dan kritik.


Bdw, suka nulis fiksi, enggak takut kalau tulisanmu menjadi kutukan bagi dirimu?

Sebagai seorang yang dengan pede melabeli diri sebagai penulis, apa yang saya tulis adalah selipan curhana hati dan apa yang saya lihat dan dengar dari sekeliling saya. Sedikit saya berimajinasi. Karena saya lebih suka bermain feeling. Dan entah kenapa, saya merasa feeling ini begitu kuat.


Bagi saya, jika tulisan saya kelak menjadi kenyataan, itu bukanlah satu kutukan. Itu adalah kekuatan feeling dan sugesti saja.


Traumakah saya menulis?

Enggk. Meskipun banyak pro dan kontra yang saya dapatkan dari menulis, tapi sama sekali saya tidak trauma.


Apakah saya ingin berhenti menulis?


Jika saya berhenti menulis, berarti saya berhenti memberikan terapi bagi diri ini. Jika saya berhenti menerapi diri, bagaimana dengan kewarasan saya? Saya sealu tetap waras karena saya menulis. Saya menulis dan mengeluarkan segala beban. Ya, saya berbagi cerita. Saya berharap, cerita saya kelak akan menjadi sebuah inspirasi. Iya, itu saja... selain menulis sebagai terapi jiwa, saya yakin kalau menulis adalah berbagi. Berbagi kisah dan berbagi cerita.


Jangan lupa beli buku Love Is Friendship By Witri Prasetyo Aji di Indomart terdekat :


9 Responses to "MENULIS ADALAH TERAPI JIWA"

  1. Betuuuuul... menulis itu terapi jiwa.
    Saya juga kalo gundah selalu mengeluarkan lewat tulisan. Dalam puisi biasanya.... biar pembaca multitafsir. Hehehe...

    ReplyDelete
  2. Betuuuuul... menulis itu terapi jiwa.
    Saya juga kalo gundah selalu mengeluarkan lewat tulisan. Dalam puisi biasanya.... biar pembaca multitafsir. Hehehe...

    ReplyDelete
  3. Ciee ...

    Selamat, ya, Mak, atas bukunya ^^

    ReplyDelete
  4. menulis itu menyembuhkan ya mbak, semacam trauma healing..hanya saat menuliskannya hrs tetap 'waras' dan mawas diri :)

    ReplyDelete
  5. Sangat setuju, Mbak, demikian pula dengan saya, bila sudah menulis maka ada yang terasa ringan, plong :)

    Oh ya, Mbak, sekalian izin ya, barusan saya follow blog ini, makasih...

    ReplyDelete
  6. Setuju banget Mbak :)menulis=terapi
    ada yang baru di www.awanhero.com. intip, ya. Tegkyu :)

    ReplyDelete
  7. Saya setuju mbak dengan mengekspresikan diri dari sebuah pengalaman pribadi ke dalam tulisan dan bermanfaat bagi orang lain.

    ReplyDelete
  8. Emang sebuah tulisan lebih memiliki arti bila dari pengalaman pribadi :3

    ReplyDelete